Tuesday, May 26, 2009

Menimbang Dampak Sertifikasi Guru

Oleh INDRA YUSUF

Setelah sekian lama guru menunggu ketidakjelasan pelaksanaan sertifikasi, program sertifikasi guru akhirnya baru dapat terlaksana September lalu. Program yang semestinya wajib dilaksanakan pemerintah paling lama 12 bulan terhitung sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ternyata baru digelar bulan September.

Salah satu hal yang menyebabkan molornya pelaksanaan sertifikasi adalah sikap Departemen Pendidikan Nasional yang menunggu keluarnya peraturan pemerintah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 Ayat 4 UU No 14/2005 yang sampai saat ini memang belum diterbitkan. Dengan demikian, kebijakan sertifikasi yang diselenggarakan sekarang tidak berlandaskan pada peraturan pemerintah sebagaimana yang dimaksud dalam UU, tetapi menggunakan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan, sebagai dasar hukumnya.

Berdasarkan permendiknas tersebut, sertifikasi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi dalam bentuk portofolio. Penilaian dalam bentuk portofolio merupakan pengakuan atas pengalaman profesional guru dalam bentuk penilaian terhadap kumpulan dokumentasi yang mencerminkan kompetensi guru. Adapun portofolio yang harus dipenuhi mencakup kualifikasi akademik; pendidikan dan pelatihan; pengalaman mengajar; perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran; penilaian dari atasan dan pengawas; prestasi akademik; karya pengembangan profesi; keikutsertaan dalam forum ilmiah; pengalaman organisasi di bidang pendidikan dan sosial; dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Untuk wilayah Jawa Barat, Depdiknas telah menunjuk Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung sebagai koordinator pelaksanaan uji sertifikasi dengan dibantu tujuh perguruan tinggi swasta (PTS) sebagai mitra.

Sertifikasi gelombang pertama bagi sekitar 190.450 guru (hanya sekitar 7 persen) dari sekitar 2,7 juta guru di seluruh Indonesia belum selesai, tetapi berbagai persoalan dan potensi permasalahan telah muncul, baik di lingkup pemerintah (baca: Depdiknas dan Dinas Pendidikan di daerah) sebagai pemegang kebijakan, LPTK sebagai pihak penyelenggara, maupun di kalangan guru sendiri yang akan disertifikasi. Beberapa persyaratan yang harus dipegang Dinas Pendidikan provinsi atau kabupaten/kota dalam menetapkan siapa saja guru yang akan diikutsertakan dalam sertifikasi harus berdasarkan Permendiknas No 18/2007 adalah masa kerja/pengalaman mengajar; usia; pangkat/golongan (bagi PNS); beban mengajar; jabatan/tugas tambahan; dan prestasi kerja.

Masalah waktu

Permasalahan yang dirasakan guru yang telah diusulkan untuk mengikuti program sertifikasi oleh Dinas Pendidikan setempat adalah masalah waktu. Mereka mengaku mengalami kesulitan dalam memenuhi dokumentasi yang akan dijadikan portofolio. Sebab, beberapa guru mengaku tidak cukup waktu untuk mengumpulkan berbagai dokumen yang bertahun-tahun hanya dalam waktu beberapa hari.

Sebagai contoh, untuk melegalisasi ijazah sarjana saja perlu waktu beberapa hari jika perguruan tinggi tersebut berada di luar kota. Keterlambatan Dinas Pendidikan dalam hal sosialisasi dan penunjukan calon guru yang akan disertifikasi disinyalir merupakan faktor penyebabnya. Ini terbukti karena waktu yang sangat singkat menyebabkan beberapa guru peserta sertifikasi di beberapa daerah belum mengumpulkan berkas portofolio sampai dengan batas waktu yang ditentukan. Sementara di beberapa daerah lain hal ini disebabkan oleh tertutupnya akses informasi mengenai sertifikasi guru, baik yang menyangkut kriteria maupun mekanisme mendapatkan sertifikasi.

Persoalan lain yang muncul menyangkut mekanisme penunjukan guru yang akan diikutsertakan dalam sertifikasi. Akibatnya, banyak kebijakan Dinas Pendidikan yang menuai protes dan kekecewaan guru. Gejala ketidakpuasan guru dipicu anggapan terpilihnya guru yang lebih yunior untuk ikut sertifikasi, padahal masih ada guru yang lebih senior tetapi tidak terpilih. Hal ini memancing penafsiran, mekanisme yang dilakukan masih belum memenuhi unsur obyektivitas, transparansi, dan akuntabilitas, melainkan masih melekatnya unsur subyektivitas atau bahkan ada unsur lain.

Memang hal ini telah sejak awal menjadi kekhawatiran mendorong dan terbukanya kesempatan terhadap terjadinya berbagai bentuk penyimpangan. Keadaan lain yang menyebakan terjadinya praktik kolusi, nepotisme, dan subjektivitas adalah sangat terbatasnya jumlah kuota guru peserta sertifikasi jika dibandingkan dengan jumlah guru yang memenuhi persyaratan kualifikasi.

Permasalahan baru

Pada akhirnya, program sertifikasi yang bertujuan meningkatkan kualitas dan kompetensi guru dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional dikhawatirkan tidak akan tercapai. Justru program sertifikasi hanya akan memunculkan permasalahan-permasalahan baru bagi dunia pendidikan. Sebenarnya kalau pemerintah memang hendak meningkatkan mutu guru atau tenaga kependidikan, pemerintah tidak semestinya memotong bagian dari sistem yang telah lama berjalan dengan melakukan sertifikasi kepada guru-guru yang mendekati masa pensiun.

Hal semestinya yang dilakukan pemerintah adalah memperbaiki kualitas calon guru dengan memperketat kendali mutu pada lembaga pendidikan yang mencetak guru atau tenaga kependidikan, baik perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta.

Apabila bermaksud meningkatkan kesejahteraan melalui sertifikasi, pemerintah tidak seharusnya melakukannya secara setengah-setengah dengan hanya memberikan kepada guru yang telah disertifikasi. Pemerintah cukup meningkatkan besarnya tunjangan fungsional ataupun dengan pemberian tunjangan profesi sesuai dengan ketentuan yang sudah ada, seperti berdasarkan golongan/kepangkatan atau masa kerjanya. Pemerintah pun tidak perlu membuang dana untuk menyelenggarakan sertifikasi yang anggarannya ternyata melebihi dari yang akan dibayarkan kepada guru-guru yang telah disertifikasi pada tahun ini.

Dampak lain menyangkut kondisi psikologis ataupun sosial bagi guru yang sudah disertifikasi dan yang belum disertifikasi. Mau tidak mau efeknya pasti akan muncul tatkala seorang guru memiliki kewajiban yang sama, tetapi dengan hak berbeda. Hal itu akan terjadi sampai beberapa tahun mendatang.

Kecemburuan sosial bagi guru yang telah memenuhi kualifikasi, tetapi belum diberi kesempatan untuk ikut sertifikasi akan mengganggu kondusivitas kegiatan pembelajaran di sekolah. Demikian juga guru yang sudah disertifikasi akan menanggung beban psikologis karena merasa dituntut harus lebih dalam segala hal dibandingkan dengan rekan-rekannya yang belum disertifikasi.

INDRA YUSUF Praktisi Pendidikan dan Anggota AGP-PGRI Jawa Barat

Rubrik Forum

KOMPAS : Kamis, 18 Oktober 2007

Monday, May 18, 2009

SEJARAH SUNDA

Sejarah "Sunda" yang dimaksud di sini bersifat umum berdasarkan data atau tulisan terbatas yang digunakan. Menurut data dan penelitian arkeologis, Tanah Sunda telah dihuni oleh masyarakat Sunda secara sosial sejak lama sebelum Tarikh Masehi. Situs Purbakala di Ciampea (Bogor), Kelapa Dua (Jakarta), Dataran Tinggi (Bandung) dan Cangkuang (Garut) memberi bukti dan informasi bahwa lokasi - lokasi tersebut telah ditempati oleh kelompok masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan organisasi sosial, sistem mata pencaharian, pola pemukiman dan lain sebagainya sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat betapapun sederhananya.

Era sejarah di Tanah Sunda baru mulai pada pertengahan abad ke-5 seiring dengan dibuatnya dokumen tertulis berupa beberapa buah prasasti yang dipahat batu dengan menggunakan bahasa Sangsekerta dan Aksara Pallawa. Prasasti - prasasti itu yang diketemukan di Ciaruteun daerah Bogor, Bekasi dan Pandeglang dibuat zaman kerajaan Tarumanegara dengan salah seorang rajanya bernama Purnawarman dan Ibukotanya terletak di Bekasi sekarang. Pada masa itu sampai abad ke-7, sistem pemerintahan berbentuk kerajaan, agama Hindu sebagai agama resmi negara, sistem kasta berbentuk stratifikasi sosial dan hubungan antar negara telah mulai terwujud walaupun masih dalam tahap awal dan terbatas.
Kerajaan Sriwijaya di Sumatra, India dan China merupakan negeri luar yang menjalin hubungan dengan kerajaan Tarumanegara, tetapi kebudayaan Hindu dari India yang dominan dan berpengaruh di sini. Kerajaan Sunda baru muncul pada abad ke-8 sebagai lanjutan atau penerus Kerajaan Tarumanegara, pusat kerajaannya berada sekitar Bogor sekarang. Paling tidak ada tiga macam sumber yang menyebut Sunda sebagai nama kerajaan, pertama dua buah prasasti (Bogor dan Sukabumi). kedua beberapa buah naskah lama (Carita Parahiyangan, Sanghiyang siksa kendang karesian). Ibu kota kerajaan Sunda di namai Pakuan Padjadjaran.
Dalam tradisi lisan dan Naskah sesudah Abad ke-17, Pakuan biasa disebut untuk nama Ibu kota sedangkan Padjadjaran untuk menyebutkan kerajaan. Kerajaan ini hidup kira-kira 6 abad, karena runtuh sekitar tahun 1579. Pernah mengalami masa kejayaan antara lain ditandai dengan luas wilayah yang meliputi seluruh Tatar Sunda, kesejahteraan rakyat tinggi, keamanan stabil, hubungan dengan dunia luar (Majapahit, Portugis, Sriwijaya) berjalan baik. Dikenal ada dua raja termasyhur kebesarannya (Prabu Niskala Wastu Kancana dan Sri Baduga Maharaja). Ibu kotanya pernah berada di Kawali, Galuh. Pada masa pemerintahan Prabu Maharaja (1350-1352) terjadi konflik dengan Majapahit, karena masalah pernikahan putri Sunda dengan raja Majapahit Hayam Wuruk.
Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521), dan putranya, Prabu Surawisesa (1521-1535) terjalin hubungan kerjasama ekonomi dan keamanan antara kerajaan Padjadjaran dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Dari kerajaan ini dihasilkan beras dan lada yang bisa diekspor. Kota Pelabuhan yang besar antara lain Banten, Sunda Kelapa (Jakarta sekarang) dan Cirebon, sistem ladang merupakan cara bertani rakyatnya. Ada jalan raya darat yang menghubungkan Ibukota kerajaan dengan Banten disebelah barat, Kelapa disebelah utara, serta Cirebon dan Galuh disebelah timur. Dari daerah pedalaman ke pesisir utara dihubungkan dengan jalur lalu lintas sungai dan jalan menyusuri pantai.
Pedagang Islam sudah berdatangan ke kota - kota pelabuhan Kerajaan Sunda untuk berdagang dan memperkenalkan ajaran Islam. Lama kelamaan para pedagang Islam bermukim di kota - kota pelabuhan Sunda, terutama di Banten, Karawang dan Cirebon kemudian penduduk setempat banyak yang menganut Agama Islam. Berkat dukungan Kesultanan Demak berdirilah kekuasaan Islam di Cirebon dan Banten yang dalam perkembangan selanjutnya mendesak kekuasaan kerajaan Sunda sampai akhirnya menumbangkan sama sekali (5179). Sementara di daerah pesisir berkembang kekuasaan Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten. Sedangkan di daerah pedalaman muncul kabupaten - kabupaten yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu : Sumedang, Galuh, Sukapura, Limbangan, Parakanmuncung, Bandung, Batulayang dan Cianjur.
Periode selajutnya (sejak abad ke-17) Sejarah Sunda mengalami babak baru, karena dari arah pesisir utara di Jayakarta (Batavia) masuk kekuasaan Kompeni Belanda (sejak 1610) dan dari arah pedalaman sebelah timur kekuasaan Mataram (sejak 1625). Secara perlahan - lahan tapi pasti akhirnya seluruh Tanah Sunda jatuh ke genggaman kekuasaan Belanda (sejak awal abad ke-19) karena itu mulailah zaman kekuasaan kolonial Hindia Belanda.
Tanah Sunda yang subur dan orang - orang yang rajin bekerja menjadikan pengeksploitasian tersebut sangat mengutungkan penguasa kolonial Belanda sehingga membawa kemakmuran yang luar biasa bagi mereka yang tinggal disini dan yang berada di tanah leluhurnya (Belanda). Sebaliknya rakyat pribumi tidak mengecap keuntungan yang setimpal dengan tenaga dan jasa yang diberikan, bahkan banyak yang hidupnya menderita, kecuali sekelompok masyarakat kecil yang dekat dan kerjasama dengan penguasa kolonial yang biasa disebut kaum Menak.
Pada sisi lain masuknya penjajahan itu menimbulkan ketidakpuasan dan bahkan penentangan sebagian masyarakat. Di bawah beberapa pemimpinnya timbulah serangkaian perlawanan dan pemberontakan rakyat, seperti yang dipimpin oleh Dipati Ukur di Priangan (1628 - 1632), Sultan Ageng Tirtayasa dan pangeran Purbaya di Banten (1659 - 1683), Prawatasari di Priangan (1705 - 1708), Kiai Tapa dan Bagus Buang di Banten (1750 - 1752), Bagus Rangin (1802 - 1818), Kiai Hasan Maulani di Kuningan (1842), Kiai Washid di Banten (1888), Kiai Hasan Arif di Garut (1918).
Ketidakpuasan masyarakat terus berlanjut, walaupun penguasa kolonial mengupayakan perbaikan kehidupan masyarakat melalui program pendidikan, pertanian, perkreditan dan juga menerapkan sistem ekonomi bagi Pemerintahan Pribumi. Sejak awal abad ke-20 muncul gerakan penentang sosial dan organisasi politik seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Paguyuban Pasundan dan Partai Nasional Indonesia.
Melalui pendudukan Militer Jepang (1942 - 1945) yang mengakhiri kekuasaan kolonial Hindia Belanda (menyerah di Kalijati, Subang tanggal 8 Maret 1942) dan menumbuhkan keberanian di kalangan orang pribumi untuk melawan kekuasaan asing dan memberikan bekal keterampilan perang pada tahun 1945 masyarakat Sunda, umumnya masyarakat Indonesia berhasil mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Sejak itu masyarakat dan Tanah Sunda berada dalam lingkungan negara Republik Indonesia.
Secara historis Propinsi Jawa Barat yang dibentuk berlandaskan Undang - undang No. 11 Tahun 1950 dengan Bandung sebagai ibukotanya. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Pemerintah Daerah berpedoman pada Undang - undang Dasar 1945, Undang - undang No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah dan peraturan perundangan lainnya, dan dalam perkembangan terakhir dengan berlakunya Undang - undang No. 22 Tahun 1999 yang lebih dikenal dengan Otonomi Daerah.
Dengan terbentuknya Propinsi Banten pada bulan Nopember tahun 2000, jumlah Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat terdiri dari 16 Kabupaten, yaitu Karawang, Bekasi, Purwakarta, Subang, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Sumedang, Majalengka, Cirebon, Indramayu, Kuningan dan 9 Kota, yaitu Bandung, Bogor, Sukabumi, Cirebon, Bekasi, Depok, Cimahi, Tasikmalaya dan Banjar. Jumlah Penduduk38.059.552 jiwa
Luas Wilayah36.925 Km2
Website
http://www.jabar.go.id
Sumber: http://www.depdagri.go.id


Friday, May 15, 2009

KATUMBIRI NU KAPATRI

Sakapeung sok ngarongheap kingkilaban ti belah wetan
sok sanajan ka gandrung nungturun unggah ka pangkonan
salin jinis jadi katresnan nu mangkak ligar
someah darehdeh pinuh kaheman
sugrining ati muka lalangse kapeurih
peurah nu geus nahun nyangkaruk, liur jadi cinyusu
sugan - jeung sugan isuk jaganing geto ngawujud madu
di sipuh ku kalimah " LAA ILAHA ILALLOH".
eces jentre galindeng halimpu minuhan qolbu
sigana ieu panglipur sagala bangbaluh
mangkaning geus heubeul ta kapuluk teu katimu
na rek bengras tetempoan kahareupeun ?
anging "Lahaola" nu jadi tamba dareuda
ngan muga - muga dina do'a nu jadi wirahma
manusa ngarana ge ngan ukur boga kahayang
nu can tangtu tinekanan
anging kadaring nu maha heman.

Kingkilaban ka sorenakeun masih can suda
sok aya ngrongheap ka tempo ku juru mata
siga inggis rek wekasan tapi isin mun seug heman
bral...we geura miang da kuring mah moal ringrang
geus ka tinggal katumbiri di antara bulaona langit
endah tur genah
linduh iuh
senang jeung gumbira
karasana...

Kingkilaban beuki ngaleutikan
sugan we katumbiri teu di ajak mulang.

Ananda Baleendah, 13 Mei 2009

Tuesday, May 5, 2009

Jenis-Jenis Bunga dan Artinya

Hati-hati, loh, jenis bunga yang dipilih, mencerminkan keseriusan cinta kamu. Oleh sebab itu, kamu harus mengetahui apa pesan yang coba disampaikan oleh masing-masing jenis bunga. Jangan sampe bunga untuk pacar resmi, dikasihin ke selingkuhan. Bisa berabe!



Gardenia
Kalau kamu naksir dia, tapi nggak berani menyapa, apalagi mengungkapkan kata cinta, beri dia bunga gardenia. Bunga ini mempunyai arti "secret love" atau diam-diam kamu suka ama dia.

Iris
Dengan bunga ini, kamu bisa mengatakan "Saya ingin menjadi lebih dari sekedar sahabatmu". Bunga ini juga berarti bahwa kamu sangat care dan siap sedia kapan pun dia butuhkan.

Mawar pink atau Mawar putih
Kalau hubungan lagi buruk, akibat satu atau beberapa hal, coba deh kirimi dia bunga ini. Bunga-bunga jenis ini, sangat tepat untuk mengatakan "Saya masih cinta dan akan selalu mencintaimu."

Bakung
Untuk mengatakan "Kamu adalah satu-satunya dalam hidupku", coba beri dia bunga bakung atau bunga-bunga lain yang berwarna kuning. Bunga ini juga berarti bahwa "Kamu adalah orang paling spesial dalam hidupku".

Primrose
Bunga mawar yang kelopaknya kecil-kecil ini, punya arti yang sangat mendalam. Kayaknya kamu sudah benar-benar mentok dengan orang ini. Bunga ini berkata, "Saya nggak bisa hidup tanpamu."

Tulip merah
Kalau kamu menerima bunga tulip merah, kamu layak berbahagia. Gimana nggak, bunga ini mengatakan bahwa kamu adalah "perfect lover" dalam hidupnya. Si pengirim ingin mengungkapkan bahwa kamu seindah bunga itu.

Forget-me-not
Dari namanya saja, kamu sudah bisa menebak apa yang ingin dia sampaikan kalau ngasih bunga jenis ini. Karangan bunga-bunga kecil brwarna biru ini mengungkapkan bahwa si pengirim menemukan "true love" pada dirimu.

Mawar merah
Bunga ini melambangkan "cinta dan gairah". Artinya, kamu sudah serius lahir batin sama dia, dan siap melangkah ke jenjang yang lebih jauh, seperti tunangan atau menikah.

Kalo bunga bank ???

(dari berbagai sumber)